Posted by : hanunes
Selasa, 03 November 2015
Ø Perang Aceh
Perang Aceh–Belanda atau
disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari
1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada
Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal
perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat
di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan
Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara.
Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Ø Latar Belakang
Perlawanan
Akibat dari Perjanjian
Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda
melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian
London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat
ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu
dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh
Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat
perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung
Britania.
Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi
sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London
1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan
keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus
menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda
mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana
Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh
mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah diSingapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada
tahun 1871. Akibat upaya
diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang
Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik
Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan
meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan
di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Ø Terjadinya Perang
Pertama
Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh
Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler
dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada
tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana.
Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu
oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan
Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari
Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama
ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri
Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan
oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak
mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris
Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan
perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga
ia menyatakan perang pada Aceh atas saran Gub Jen James Loudon. Blokade pesisir
tak berjalan sesuai yg diharapkan.
Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi
pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler &
sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van
Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama
kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke
Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di
saat yg kedua kalinya tewaslah Köhler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada
tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavaljé namun tak dapat
menduduki lebih lanjut karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg
tewas & terluka. Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk
serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup &
mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari
pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin
komunikasi dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa.
Menurut George Frederik Willem Borel,
kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir bila mendapatkan titik lain
yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak dapat memberikan
kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat itu
sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru
jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak
disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon
mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan penilaian atas
atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi
& menimbulkan “perang kertas” sesudah Perang Aceh I [dokumen & tulisan
pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].
Penyelidikan itu masih berawal, sesudah
Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade II GCE. van Daalen
menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama itu Loudon
telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg
merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima
tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang
sesudah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu
[meskipun kemudian meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem
Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup
informasi atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu. Loudon tak
mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan Militaire Willems-Orde &
untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang tunjangan
pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada
tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi
gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874″ pada pita Ereteken voor Belangrijke
Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor
Moed en Trouw.
Ø Perang Kedua
Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di
bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26
Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874
Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan
Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid
Indragiri.
Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL
terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873 sesudah kegagalan serangan pertama.
Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg
dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8. 500 prajurit, 4. 500 pembantu
& kuli, & belakangan ditambahkan 1. 500 pasukan. Pasukan Belanda &
Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal
antara bulan November 1873 sampai April 1874.
Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda
bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir mereka telah menang perang.
Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan & dianeksasi. Namun,
kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg
dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri
ke bukit, & sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan
cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan
Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].
Perang pertama & kedua ini ialah
perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun
ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, &
tempat-tempat lain.
Ø Perang Ketiga
Perang ketiga [1881-1896], perang
dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem
perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini
pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada
tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di
Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian
tampil menjadi komandan perang gerilya.
Ø Perang Keempat
Perang keempat [1896-1910] ialah perang
gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan
& pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Ø Siasat
Snouck Hurgronje
Pada tahun 1930, untuk mengalahkan
pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan
Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk
meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan
dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu
disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada
Gubernur Militer Belanda Joannes
Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang
berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap
menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding
dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan
membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje
diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh
(1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.
Ø Taktik Perang
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh
Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans
Christoffel dengan pasukan Colone
Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan,
hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan
Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda
adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya
Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku
Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku
Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polimdapat meloloskan diri, tetapi sebagai
gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut
Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya.
Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada
Desember 1903. Setelah
Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah
mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan
dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah
pimpinan Gotfried
Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti
pembunuhan di Kuta
Reh (14 Juni 1904) dimana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan
1.149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih
melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya
Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.
Ø Akhir
Peperangan (Surat
perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh)
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan
surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang
harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan
menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja
(Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja
berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri,
berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda.
Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit
dan panjang dengan para pemimpin setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak
bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi
perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat).
Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan
penjajah baru yakni Jepang (Nippon).
Ø Tokoh-Tokoh yang
Berperan
1. Panglima
Polim

Panglima
Polim merupakan pemimpin Perang Aceh pertama & perang gerilya.
2. Sultan
Mahmud Syah

Pemimpin
Perang Aceh pertama.
3. Tuanku
Muhammad Daud Syah (cucu muda Tuanku Ibrahim)

Sebagai
Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].
4. Teuku
Umar

Pemimpin
perang gerilya.
5. Cut Nyak
Dhien (istri Teuku Umar)

Menjadi
komandan perang gerilya setelah Teuku Umar gugur.
Ø Nilai
Nilai Kepahlawanan
a.
Semangat pantang menyerah
b.
Rela berkorban untuk bersama
c.
Menolong tanpa pamrih
d.
Lebih mementingkan kepentingan rakyat,
dan menyampingkan kepentingan sendiri (tidak egois)
e.
Cerdik
dalam mengatur siasat perang