Posted by : hanunes
Selasa, 03 November 2015
Pada
saat itu, Kerajaan Galuh Pakuan (Pajajaran) sedang dipimpin oleh Adipati
Munding Wilis. Kerajaan Galuh Pakuan sedang dilanda kekeringan
besar. Para warga hidup dalam kesulitan. Dalam keadaan
seperti itu, istri Adipati Munding Wilis yang sedang hamil meminta untuk
dicarikan daging kijang berkaki putih. Adipatipun tidak dapat
menolak permintaan istrinya yang sedang hamil itu. Segera saja sang
Adipati pergi ke hutan bersama para punggawanya. Dia menaiki kuda
yang bernama Dawuk Mruyung. Telah lama dicari, kijang
berkaki putihpun tak juga ditemui. Hingga akhirnya mereka sampai di
sebuah perkampungan para perampok.
Kampung
perampok itu dipimpin oleh Abulawang. Setelah mengetahui dari anak buahnya
bahwa yang datang adalah Adipati Munding Wililis beserta punggawanya yang
membawa bekal yang banyak, dia lalu menyiapkan pasukan. Mereka
hendak merampas bekal sang Adipati. Akhirnya, perangpun terjadi
antara pasukan Adipati dan pasukan Abulawang. Perang tersebut
dimenangkan oleh Abulawang. Adipati dan punggawanya diperkenankan
pulang ke Kadipaten Galuh. Sang Adipati pulang dengan berjalan kaki
karena kuda miliknya juga ditawan. Abulawang sangat bahagia
mendapatkan harta rampasan yang sangat berlimpah.
Setibanya
di kadipaten, sang Adipati segera menemui istrinya. Segera saja
kesedihannya berubah menjadi kebahagiaan. Istrinya telah melahirkan
seorang putera yang tampan. Anak itu memiliki tanda lahir di lengan
kanannya berupa belong “toh Wisnu”.
Kebahagiaanpun
tidak lama dirasakan. Tiba-tiba Abulawang beserta seluruh pasukannya
dating menyerang Kadipaten Galuh Pakuan. Kadipaten porak
poranda. Semua harta ludes dirampok oleh Abulawang. Putera sang
Adipati yang baru berusia empat haripun dibawanya. Adipati dan
istrinya kebingungan. Akhirnya mereka dibantu oleh Ki Juru Taman,
pembantu kadipaten untuk mencari puteranya di setiap sudut
kadipaten. Akhirnya, ada yang memberi tahu bahwa putera mereka
dibawa oleh Abulawang. Keduanyapun memutuskan untuk pergi mencari
puteranya. Dengan berpakaian seperti rakyat biasa, mereka mengubah
nama menjadi Ki Sandi dan Nyai Sandi.
Di
Bukit Mruyung, Abulawang dan istrinya merasa bahagia. Selain
mendapat harta, mereka juga mendapat seorang anak. Telah lama mereka
menginginkan seorang anak. Abulawang dan istrinya mengangkatnya
menjadi anak dan memeberinya nama Jaka Mruyung.
Tumbuhlah
Jaka Mruyung menjadi semakin dewasa. Pernah suatu ketika dia
mendapat pesan dari Abulawang untuk tidak keluar dari daerah
Mruyung. Namun, keinginannya dan kebosanannya membuat dia ingin
mengelana. Jaka Mruyung pergi tanpa pamit. Dia
mengendarai Dadung Awuk, kuda yang pernah dirampas dari Adipati Munding
Wilis. Anak buah Abulawang yang mengetahui segera mengejar Jaka
Mruyung. Namun, Jaka Mruyung tidah dapat terkejar.
Jaka
Mruyung pergi ke timur melewati hutan-hutan. Hingga akhirnya dia
menemukan sebuah rumah kecil. Dia lalu mampir ke rumah
itu. Rumah itu ternyata milik Ki Mranggi, bekas prajurit
Majapahit. Dengan senang hati Ki Mranggi menerima kedatangan Jaka
Mruyung. Jaka mruyungpun ditawarinya untuk tinggal menetap di
sana. Jaka Mruyung mau. Dia dianggap cucu Ki Mranggi. Oleh
Ki Mranggi, dia diajari membaca, menulis, olah keprajuritan, bela diri, dan
ilmu kanuragan. Setelah dirasa ilmunya mencukupi, Jaka Mruyung
diijinkan melanjutkan pengembaraannya. Atas petunjuk Ki Mranggi,
Jaka Mruyung disuruh pergi ke timur mencari hutan besar bernama Alas Pakis
Aji. Jaka Mruyung segera berpamitan. Dia berpesan agar
desa tempat Ki Mranggi itu dinamakan Desa Panulisan, desa tempat dirinya
belajar baca tulis.
Berhari-hari
Jaka Mruyung melakukan perjalanannya. Dia beristirahat disebuah
padang rumput yang luas. Kemudian daerah itu dinamakan Gumelar,
sesuatu yang luas/lebar. Diapun melanjutkan
perjalanannya. Di tengah perjalanan dia bertemu seorang pemuda yang
bernama Tlangkas. Tlangkas memberitahu bahwa Alas Pakis Aji sudah
dekat, di sisi barat Kadipaten Kutanegara.
Diceritakan
bahwa pada saat itu Ki Sandi dan Nyai Sandi sudah sampai di rumah Ki
Mranggi. Dia mencari tahu keberadaan puteranya. Dengan
diberi tahu tanda lahirnya, Ki Mranggipun mengetahui bahwa itu adalah Jaka
Mruyung. Ki Mranggi mengatakan bahwa Jaka Mruyung sedang dalam
perjalanan menuju Alas Pakis Aji. Segera saja mereka pamit dan
menyusul Jaka Mruyung. Dalam perjalanannya yang melelahkan, mereka
beristirahat di tepi sungai yang airnya bening dan kemracak (gemercik). Maka,
daerah itu dinamakan Desa Kracak. Dalam perjalanannyapun mereka
berjumpa dengan orang yang berbahasa Sunda. Dia membawa buah gondang
amis yang artinya buah gondang manis. Maka, daerah tersebut
dinamakan Desa Gondangamis.
Sampailah
Jaka Mruyung di pinggir Alas Pakis Aji. Dia beristirahat di sebuah
tempat yang banyak burung jalaknya dan tempat itupun diberi nama
Pejalakan. Setelah beristirahat, Jaka Mruyung masuk ke Alas Pakis
Aji. Sampailah dia di Kali Datar. Di sana dia menjumpai
sebuah kedung yang banyak burung serwitinya. Tempat itupun akhirnya
bernama Kedung Serwiti. Segera saja dia membabat hutan
itu. Di tengah dia membabat hutan, dia melihat beberapa orang sedang
membuat tambak ikan. Jaka Mruyungpun mendekati mereka dan meminta
mereka membantunya membabat hutan. Mereka menyanggupinya.
Saat
membabat hutan, Jaka Mruyung bertemu dengan ular besar. Dengan
kesaktiannya, dia menangkap ular itu dan dibunuhnya. Ular tersebut
kemudian dibakar. Api pembakaran itu kemudian merambat hingga membakar
seluruh Alas Pakis Aji. Kebakaran itupun diketahui oleh Adipati Nglangak
penguasa Kadipaten Kutanegara. Adipati marah. Dia memerintahkan
menangkap orang yang telah membakar Alas Pakis Aji. Jaka Mruyungpun dapat
ditangkap dan di tahan di Kadipaten Kutanegara. Tidak lama kemudian
dia dibebaskan.
Adipati
Nglangak memiliki tiga orang anak perempuan, yaitu Dewi Pandansari,
Dewi Pandanayu, dan Dewi Rantansari. Mereka bertiga juga merupakan
senapati wanita di kadipaten itu. Suatu hari, Kadipaten Kutanegara
hendak mencari seorang senapati lewat sayembara. Jaka Mruyungpun
ikut serta dalam sayembara itu. Dalam pertandingan akhir, Jaka
Mruyung dapat mengalahkan kesaktian Ki Kentol Ireng. Diapun diangkat menjadi
Senapati Kadipaten Kutanegara dan dinikahkan dengan Dewi Pandanayu.
Pada
akhirnya, Jaka Mruyung dapat menggantikan kedudukan Adipati Nglangak menjadi
pemimpin Kadipaten Kutanegara. Tidak lama setelah sayembara, Jaka
Mruyung dapt berjumpa dengan Ki Sandi dan Nyai Sandi yang tak lain adalah ayah
dan ibunya. Adipatipun tahu kalau Jaka Mruyung adalah putera Adipati
Munding Wilis dari Galuh Pakuan. Setelah mendengar cerita dari kedua
orang tuanya, Jaka Mruyung pergi ke Bukit Mruyung untuk membalas dendam pada
Abulawang. Abulawangpun mengakui kesalahannya. Dia tidak
tega membunuh Abulawang karena jasanya yang telah membesarkan Jaka
Mruyung. Abulawangpun dibawanya ke Kadipaten
Kutanegara. Adipati Munding Wilis dan istrinya memutuskan untuk kembali ke
Galuh Pakuan. Jaka Mruyungpun menjadi adipati di
Kutanegara. Pusat pemerintahan Kadipaten Kutanegara dipindah ke Alas
Pakis Aji. Alas Pakis Aji tersebut kemudian berubah nama menjadi
Ajibarang dan Jaka Mruyung menjadi Adipati Ajibarang yang pertama.
Pokok-Pokok Dongeng
Tema : kehidupan
di kadipaten pasir luhur
Alur :
Alur Maju
o
Peristiwa yang penting :
1) Ketika Adipati
mengutus prajurit untuk mencarikan buah-buahan
2) Ketika
prajurit kesatu dan prajurit kedua bertemu didekat sungai
3) Ketika kedua
prajurit memetik buah pace (mengkudu )
Tokoh : Adipati :
pengertian , merasa kasihan
Istri Adipati :
terus meminta – minta agar keinginanya terkabul
Prajurit :
menjalankan perintah dengan baik
Latar :
Ø Latar tempat
: Jingkang
( sebuah desa )
Ø Latar waktu : zaman dahulu kala
Ø Latar
suasana : Sedih
( ketika keinginan istri adipati belum terkabul)
Senang
(ketika sudah menemukan buah )
Menarik
BalasHapusBagus, lengkap, menarik, terpelajar, pintar, jelas, mantap artikelnya. Lengkap dg pokok²nya ;)
BalasHapusLengkap
BalasHapusbagus dan sangat menarik👍
BalasHapus